Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi* – tapi
aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Di hadapanku duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Coklat
sebetulnya. Tapi orang-orang menyebutnya merah. Padahal merah punya arti
lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki pikiran bahwa
orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.
Jadi, aku tidak perlu percaya kepada wanita ini, yang rambutnya
sengaja dicat merah. Barangkali isi kepalanya juga merah. Barangkali
hatinya juga merah. Siapa tahu? Aku tidak perlu percaya kepada kata-
kata wanita ini, meski ceritanya sendiri dengan jujur kuakui lumayan
mengharukan.
Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan
karena bahasa Indonesianya kurang bagus, karena bahasa itu sangat
dikuasainya, tapi karena apa yang dialami dan dirasakannya seolah- olah
tidak terkalimatkan. Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin yang
tak terbayangkan. Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia
bercerita. Tidak pernah bisa kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami
beban penderitaan seberat itu justru karena dia lahir sebagai manusia.
Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak nyambung.
Kata-kata bertebaran tak terangkai sehingga aku harus
menyambung-nyambungnya sendiri. Beban penderitaan macam apakah yang bisa
dialami manusia sehingga membuatnya tak mampu berkata-kata?
Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan
kalimatku. Sudah bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan
hampir semua laporan itu tidak pernah sama dengan kenyataan. Aku sudah
menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi menyenangkan,
dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif —
pokoknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan.
Maka, kalau cuma menyambung kalimat yang terputus-putus karena penderitaan, bagiku sungguh pekerjaan yang ringan.
***
Api sudah berkobar di mana-mana ketika mobil BMW saya melaju di jalan
tol. Saya menerima telepon dari rumah. ”Jangan pulang,” kata Mama. Dia
bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah
dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Sinta, adik-adikku,
terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana. ”Jangan pulang,
selamatkan diri kamu, pergilah langsung ke Cengkareng, terbang ke
Singapore atau Hong Kong. Pokoknya ada tiket. Kamu selalu bawa paspor
kan? Tinggalkan mobilnya di tempat parkir. Kalau terpaksa ke Sydney
tidak apa-apa. Pokoknya selamat. Di sana kan ada Oom dan Tante,” kata
Mama lagi.
Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting
mengurusi perusahaan Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam
dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para
buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan. Papa
marah-marah. ”Kita tidak punya uang untuk membayar buruh. Selain
produksi sudah berhenti, yang beli pun kagak ada. Sekarang ini para
buruh hidup dari subsidi perusahaan patungan kita di luar negeri. Mereka
pun sudah mencak-mencak profitnya dicomot. Sampai kapan mereka sudi
membayar orang-orang yang praktis sudah tidak bekerja?”
Saya masih ngotot. Jadi Papa putuskan sayalah yang harus mengusahakan
supaya profit perusahaan patungan kami di Hong Kong, Beijing, dan Macao
diperbesar. Tetesannya lumayan untuk menghidupi para buruh, meskipun
produksi kami sudah berhenti. Itu sebabnya saya sering mondar-mandir ke
luar negeri dan selalu ada paspor di tas saya.
Tapi, kenapa saya harus lari sekarang, sementara keluarga saya
terjebak seperti tikus di rumahnya sendiri? Saya melaju lewat jalan tol
supaya cepat sampai di rumah. Saya memang mendengar banyak kerusuhan
belakangan ini. Demonstrasi mahasiswa dibilang huru-hara. Terus terang
saya tidak tahu persis apa yang terjadi. Saya terlalu tenggelam dalam
urusan bisnis. Koran cuma saya baca judul-judulnya. Itu pun maknanya
tidak pernah jelas. Namun, setidaknya saya yakin pasti bukan mahasiswa
yang membakar dan menjarah kompleks perumahan, perkotaan, dan
mobil-mobil yang lewat. Bahkan bukan mahasiswa pun sebenarnya tidak ada
urusan membakar-bakari rumah orang kalau tidak ada yang sengaja
membakar-bakar.
Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Di kiri kanan jalan
terlihat api menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120
kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan segera tiba di
rumah. Tapi, di ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali
menghentikan mobil. Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak
dibenarkan berdiri di tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin
menabraknya. Saya menginjak rem, tidak langsung, karena mobil akan
berguling-guling. Sedikit-sedikit saya mengerem, dan toh roda yang
menggesek aspal semen itu tetap mengeluarkan bunyi Ciiiiiiitttt! Yang
sering dianggap sebagai petanda betapa para pemilik mobil sangat jumawa.
Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
”Buka jendela,” kata seseorang.
Saya buka jendela.
”Cina!” ”Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena
gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina?
Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai
Cina?
”Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat
jendela. Saya dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.
”Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!” Pipi saya
menempel di permukaan bergurat jalan tol. Saya melihat kaki-kaki lusuh
dan berdaki yang mengenakan sandal jepit, sebagian tidak beralas kaki,
hanya satu yang memakai sepatu. Kaki-kaki mereka berdaki dan penuh
dengan lumpur yang sudah mengering.
”Berdiri!” Saya berdiri, hampir jatuh karena sepatu uleg saya yang
tinggi. Saya melihat seseorang melongok ke dalam mobil. Membuka-buka
laci dashboard, lantas mengambil tas saya. Isinya ditumpahkan ke jalan.
Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat alis, sikat bulu mata,
lipstik, HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton bersama
pacar saya kemarin. Dompetnya segera diambil, uangnya langsung
dibagi-bagi setengah rebutan. Sejuta rupiah uang cash amblas dalam
sekejap. Tidak apa-apa. Mobil masih bisa dikendarai dengan kaca pecah,
dan saya tidak perlu uang cash. Di dalam dompet ada foto pacar saya.
Orang yang mengambil dompet tadi mengeluarkan foto itu, lantas mendekati
saya.
”Kamu pernah sama dia?”
Saya diam saja. Apa pun maksudnya saya tidak perlu menjawabnya.
Plak! Saya ditampar. Bibir saya perih. Barangkali pecah.
”Jawab! Pernah kan? Cina-cina kan tidak punya agama!” Saya tidak perlu menjawab.
Bug! Saya ditempeleng sampai jatuh.
Seseorang yang lain ikut melongok foto itu.
”Huh! Pacarnya orang Jawa!” Saya teringat pacar saya. Saya tidak pernah peduli dia Jawa atau Cina, saya cuma tahu cinta.
”Periksa! Masih perawan atau tidak dia!” Tangan saya secara refleks
bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak.
Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan kanan
dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak.
Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.
”Aaaahhh! Tolongngng!” Saya menjerit. Mulut saya dibungkam telapak
kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut saya itu nampak dingin
sekali. Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh
saya.
”Diem lu Cina!” Rok saya sudah lolos….
***
Wanita itu menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku
bisa terharu kalau membaca roman picisan yang dijual di pinggir jalan.
Tapi, menjadi terharu tidak baik untuk seorang petugas seperti aku. Aku
harus mencatat dengan rinci, objektif, deskriptif, masih ditambah
mencari tahu jangan-jangan ada maksud lain di belakangnya. Aku tidak
boleh langsung percaya, aku harus curiga, sibuk menduga kemungkinan,
sibuk menjebak, memancing, dan membuatnya lelah supaya cepat mengaku apa
maksudnya yang sebenarnya. Jangan terlalu cepat percaya kepada
perasaan. Perasaan bisa menipu. Perasaan itu subjektif. Sedangkan aku
bukan subjek di sini. Aku cuma alat. Aku cuma robot. Taik kucing dengan
hati nurani. Aku hanya petugas yang membuat laporan, dan sebuah laporan
harus sangat terinci bukan?
”Setelah celana dalam kamu dicopot, apa yang terjadi?”
Dia menangis lagi. Tapi masih bercerita dengan terputus-putus.
Ternyata susah sekali menyambung-nyambung cerita wanita ini. Bukan hanya
menangis. Kadang-kadang dia pingsan. Apa boleh buat, aku harus terus
bertanya.
”Saya harus tahu apa yang terjadi setelah celana dalam dicopot, kalau
kamu tidak bilang, apa yang harus saya tulis dalam laporan?”
***
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Waktu saya membuka mata,
saya hanya melihat bintang-bintang. Di tengah semesta yang begini luas,
siapa yang peduli kepada nasib saya? Saya masih terkapar di jalan tol.
Angin malam yang basah bertiup membawa bau sangit. Saya menengok dan
melihat BMW saya sudah terbakar. Rasanya baru sekarang saya melihat api
dengan keindahan yang hanya mewakili bencana. Isi tas saya masih
berantakan seperti semula. Saya melihat lampu HP saya berkedip-kedip
cepat, tanda ada seseorang meninggalkan pesan.
Saya mau beranjak, tapi tiba-tiba selangkangan saya terasa sangat
perih. Bagaikan ada tombak dihunjamkan di antara kedua paha saya. O,
betapa pedihnya hati saya tidak bisa saya ungkapkan. Saya tidak punya
kata-kata untuk itu. Saya tidak punya bahasa. Saya hanya tahu bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris untuk urusan bisnis. Kata orang, bahasa
Cina sangat kaya dalam hal menggambarkan perasaan, tapi saya tidak bisa
bahasa Cina sama sekali dari dialek manapun, kecuali yang ada
hubungannya dengan harga-harga. Saya cuma seorang wanita Cina yang lahir
di Jakarta dan sejak kecil tenggelam dalam urusan dagang. Saya bukan
ahli bahasa, bukan pula penyair. Saya tidak tahu apakah di dalam kamus
besar Bahasa Indonesia ada kata yang bisa mengungkapkan rasa sakit, rasa
terhina, rasa pahit, dan rasa terlecehkan yang dialami seorang wanita
yang diperkosa bergiliran oleh banyak orang –karena dia seorang wanita
Cina. Sedangkan pacar saya saja begitu hati-hati bahkan hanya untuk
mencium bibir saya. Selangkangan saya sakit, tapi saya tahu itu akan
segera sembuh. Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati?
Siapakah kiranya yang akan membela kami? Benarkah kami dilahirkan hanya
untuk dibenci?
Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutupi tubuh saya dengan kain.
”Maafkan anak-anak kami,” katanya, ”mereka memang benci dengan Cina.”
Saya tidak sempat memikirkan arti kalimat itu. Saya bungkus tubuh
saya dengan kain, dan tertatih-tatih menuju tempat di mana isi tas saya
berserakan. Saya ambil HP saya, dan saya dengar pesan Papa: ”Kalau kamu
dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong Kong, Sydney,
atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu,
Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama
juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat.
Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini
masih berguna. Rasanya Papa ingin mati saja.”
***
Dia menangis lagi. Tanpa airmata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja
dia tergeletak di kursi. Ia hanya mengenakan kain. Seorang ibu tua yang
rumahnya berada di kampung di tepi jalan tol telah menolongnya. ”Dia
terkapar telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua itu. Aku sudah
melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak,
”Satu lagi! Hari ini banyak sekali perkara beginian.
Tahan dia di situ. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan
sampai ketahuan wartawan dan LSM!” Pesuruh kantor membaukan PPO ke
hidungnya. Matanya melek kembali.
”Jadi kamu mau bilang kamu itu diperkosa?”
Dia menatapku.
”Padahal kamu bilang tadi, kamu langsung pingsan setelah … apa itu … rok kamu dicopot?”
Dia menatapku dengan wajah tak percaya.
”Bagaimana bisa dibuktikan bahwa banyak orang memperkosa kamu?”
Kulihat di matanya suatu perasaan yang tidak mungkin dibahasakan.
Bibirnya menganga. Memang pecah karena terpukul. Tapi itu bukan berarti
wanita ini tidak menarik. Pastilah dia seorang wanita yang kaya.
Mobilnya saja BMW. Seorang wanita eksekutif. Aku juga ingin kaya, tapi
meskipun sudah memeras dan menerima sogokan di sana-sini, tetap
begini-begini saja dan tidak pernah bisa kaya. Naik BMW saja aku belum
pernah. Aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya –apalagi kalau
dia Cina. Aku benci sekali. Yeah. Kainnya melorot, dan tampaklah
bahunya yang putih….
”Jangan terlalu mudah menyebarkan isyu diperkosa. Perkosaan itu
paling sulit dibuktikan. Salah-salah kamu dianggap menyebarkan fitnah.”
Di matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk bercerita, memang menunjukkan dia wanita yang tegar.
”Saya mau pulang,” ia berdiri. Ia hanya mengenakan kain yang
menggantung di bahu. Kain itu panjangnya tanggung, kakinya yang begitu
putih dan mulus nampak telanjang.
”Kamu tidur saja di situ. Di luar masih rusuh, toko-toko dibakar, dan banyak perempuan Cina diperkosa.”
”Tidak, saya mau pulang.”
”Siapa mau mengantar kamu dalam kerusuhan begini. Apa kamu mau pulang
jalan kaki seperti itu? Sedangkan pos polisi saja di mana-mana
dibakar.”
Dia diam saja.
”Tidur di situ,” kutunjuk sebuah bangku panjang, ”besok pagi kamu boleh pulang.”
Kulihat dia melangkah ke sana. Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya
nampak menerawang. Dia sungguh-sungguh cantik dan menarik, meskipun
rambutnya dicat warna merah. Rasanya aku juga ingin memperkosanya. Sudah
kubilang tadi, barangkali aku seorang anjing, barangkali aku seorang
babi — tapi aku mengenakan seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa
diriku sebenarnya. Masalahnya: menurut ilmu hewan, katanya binatang pun
tidak pernah memperkosa.
Tentu saja tentang yang satu ini tidak perlu kulaporkan kepada
pimpinan. Hanya kepadamu aku bisa bercerita dengan jujur, tapi dengan
catatan — semua ini rahasia. Jadi, jangan bilang-bilang.
0 Response to "Cerita Malam Clara atawa Wanita yang Diperkosa"
Posting Komentar